Saturday 17 July 2010

chloe.chapterthree.continual3:)

hei .
it's another chloe's chapter :))
read it read it !

__________________________________________________________________

Chloe berjalan balik ke UKS. Dia hanya berharap Luke masih ada di sana. Sehingga dia tidak perlu susah payah mencari murid bengalnya itu. Untung saja, Luke masih berada di dalam sana. Masih tidur – tiduran seperti yang dilakukannya tadi.

“Luke, Luke Sherlton,” panggil Chloe sambil membuka selimut yang sengaja dipakai Luke untuk menutupi wajahnya.

“What’s now?” tanya laki – laki itu sebal karena diganggu ketenangannya.

“From tomorrow until your scores are better, you have to have an extra lesson at my home,” kata Chloe semangat, “from 5 until 8 pm.”

“Ooow, man! I don’t want it,” kata Luke. Dia memang malas mengikuti pelajaran – pelajaran tambahan, “I know you want to spend you time with a man. just pick James, not me.”

Chloe memelototi Luke dengan kesal karena dia tidak menanggapi keseriusan gadis itu.

“Luke! Please, I do this for you,” kata Chloe kesal, “I don’t want you to fail your grade. This should be your last year here.”

“You’re the one who said you wouldn’t care,” jawab Luke asal.

Chloe sampai capek hatinya menghadapi Luke yang bersih keras menolak programnya itu. Tapi dia masih berusaha untuk menekan perasaan kesalnya itu.

“Luke Sherlton,” kata Chloe sambil memandangi mata Luke dengan penuh arti, “Please.”

Luke menjadi tak enak saat dilihat Chloe seperti itu. Dia memang tahu dan sangat menyadari kalau nilainya parah dan kebanyakan guru hanya bisa komplen dan terus memaksakannya beljar. Baru kali ini ada guru yang menawarkan bantuan langsung, bukan melemparkan semua tanggung jawab kepadanya.

“Alright,” kata Luke pelan, “But I won’t guarantee I’ll come everyday.”

Chloe hanya tersenyum manis dan membuat Luke, entah kenapa, merasa agak senang melihat senyuman gurunya itu.

“Yippie,” kata Chloe senang, “I have to go. See you, Luke.”

Chloe pun keluar UKS dan Luke melanjutkan acara baring – baring di atas kasur pasien UKS nya.


_____________________________________________to be continued :)

thanks for reading :)

btw i'm promoting another blog of mine :P
theonlylifeofmine.blogspot.com
open and follow it
thanks!

Friday 16 July 2010

chloe.chapterthree.continual2:)

hey . this is my new post .sorry i haven't post anything for aldervallea . i am not in mood to write any story . i don't know why . maybe i'm in my school euphoria. and i was forbid to touch my sweet puple laptop !
so now i'm posting a very little of my Chloe. and i promise tomorrow i'll post it again :))

enjoy :)


__________________________________________________________


“Excuse me, Sir,” kata Chloe setelah mengetuk pintu. Dilihatnya Mr. George, bapak kepala sekolah, sedang duduk sambil membaca koran.

“Hello, Miss Arilyse,” kata Mr George dia meletakkan koran yang di bacanya, “It’s been a long time since the last time I met you. Please, sit down.”

Chloe tersenyum lalu dia duduk di hadapan Mr. George. Terakhir kali mereka bertemu adalah saat rapat tahun ajaran. Setelah itu, karena Mr. George adalah orang yang sangat sibuk dan sangat suka berpergian, dia jarang berada di lingkungan sekolah. Maka, bila dia ingin membicarakan sesuatu dengannya, harus membuat janji terlebih dahulu.

“Well, Sir. I’ve got something to tell you,” kata Chloe dengan mimik seriusnya.

“Take it easy, miss. Do you want tea or coffee?” tawar Mr. George.

“Umm… I wouldn’t mind tea, Sir,” kata Chloe sopan

Mr George membuatkannya teh, lalu setelah itu dia memberikannya kepada Chloe.

“What do you want to talk about, Miss?” tanya Mr. George.

“Well,” kata Chloe, lalu dia meminum sedikit dari teh yang sudah disediakan oleh bosnya itu. Setelah itu dia mulai menceritakan rencananta untuk menggodok nilai – nilai Luke yang sudah sangat parah itu.

“If it helps, you can do it,” kata Mr George yang merasa rencana Chloe cukup baik dan nampaknya akan membantu mendongkrak nilai Luke.

“But are you sure, Sir? It will look like I make him special,” kata Chloe dengan nada suara yang agak cemas.

“You shouldn’t tell anyone about this so you won’t be suspicious,” lalu untuk membuat Chloe lebih lega, Mr George tersenyum dan mengatakan, “Don’t worry. If something happens. I’ll cover you.”

“Oh, thank you so much, Sir,” kata Chloe senang karena programnya di terima, “I really owe you.”

Chloe dan Mr George sedikit berbincang – bincang, lalu sesudah itu dia keluar dari ruangan kepala sekolah. Dengan langkah semangat dia berjalan kembali ke UKS untuk memaksa Luke untuk ikut dalam program yang telah di setujui untuk dilaksanakan secara diam – diam itu.


___________________________________to be continued :)

it's sooooo littleeee . but i hope it's alright .
i'm posting it tomorrow :)


thanks!

Saturday 10 July 2010

chloe.chapterthree.continual:)

hey. now i've got nothing to do so i type Chloe.
nothing much to be told now. got no topic. so just read the story. thanks :)

________________________________________________________


Luke membaringkan badannya di UKS Van Haggen. Memang sedari tadi pagi bawaannya sudah tidak enak. Biasa, kalau dia habis berdebat dengan ayahnya, pasti kepalanya terasa pusing, badannya terasa ada yang salah.

Pagi tadi Luke dan Dokter Kent, ayahnya, berdebat hebat tentang kuliah yang ingin dipilih oleh Luke. Ayahnya mengharapkan anak semata wayangnya itu meneruskan pekerjaannya sebagai dokter. Tetapi, Luke lebih memilih untuk mengambil ilmu komputer yang mendalami tentang teknologi game, sesuai dengan hobinya saat ini.

Perdebatan ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali, terlampau sering. Sejak Luke kecil, dia selalu ditekan ayahnya untuk menjadi dokter kelak besar nanti. Pada saat dia masih kecil, dia sempat tertarik menjadi dokter, cuma karena suatu tragedi, dia tiba – tiba kehilangan minatnya dengan dunia kedokteran. Namun, ayahnya tetap memaksa anaknya untuk masuk ke dunia kedokteran. Karena itu, terciptalah sifat membangkang Luke yang diterapkannya dengan membenci pelajaran biologi dan merendahkan seluruh nilainya. Semua itu dia lakukan secara ekstrim hanya karena tidak ingin masuk ke jurusan kedokteran.

Tiba – tiba pintu UKS terbuka, Luke segera menyembunyikan kepalanya ke dalam selimut, berpura – pura tidur. Seseorang masuk ke dalam UKS dan berjalan menuju ke kasur pasien.

“Luke?” tanya orang itu membuat Luke tersentak. Itu suara Chloe, guru biologi mikronya.

Luke memutuskan untuk tetap berpura – pura tidur, bahkan dia sampai menyuarakan dengkuran agar gurunya itu yakin kalau dia sudah tidur. Namun, Chloe malah menjadi lebih curiga mendengar dengkurang yang memang terdengar di buat – buat itu.

“Hey, you, I know you’re here,” kata Chloe sambil berusaha membuka selimut Luke, “You’ll be dead if you wrap your whole body like that.”

Chloe berhasil melepaskan selimut itu dari Luke yang hanya memandanginya dengan pandangan bingung.

“It’s good to see you here,” kata Chloe sambil tersenyum ramah.

“How do you know I am here?” tanya Luke.

“Telepathy,” kata Chloe asal, lalu mimik santainya berubah menjadi serius, “oh well, it’s not important. I’ve got to remind you about your score.”

Luke sengaja menguap lebar – lebar. Dia sudah bisa menerka apa yang akan dikatakan oleh Chloe pasti tidak akan jauh berbeda dengan kata – kata wali kelasnya yang sudah – sudah. Paling - paling Chloe akan mengatakan kalau nilainya terancam, ada kemungkinan dia tidak lulus sekolah, inilah, itulah. Sampai – sampai cowok itu sudah hafal ceramah wali kelasnya setiap kali dia di datangi.

“I won’t mind if you still collect your red marks, because it’s none of my problem, it’s all yours,” kata Chloe ceplas ceplos.

Luke agak terbelalak mendengar kata – kata Chloe yang beda dengan bayangannya. Dengan cepat dia menguasai dirinya, “No one ask you to mind me.”

Suara Luke terdengar sangat nyolot, membuat Chloe yang awalnya ingin berbicara baik – baik menjadi naik darah, “So, what I am trying to say, if you failed this grade, don’t blame me,” kata Chloe. Lalu dia cepat – cepat keluar sebelum di suluti lebih lanjut oleh muridnya itu. Dia tidak ingin emosinya meluap karena satu cowok itu.

Luke hanya memandangi cewek yang keluar dari UKS itu. Lalu dengan tidak peduli, dia kembali membenamkan kepalanya di bawah selimut.

Jujur saja, Chloe khawatir dengan nilai Luke yang sebagian besar merah pada pelajaran wajib yang tidak lain adalah Fisika, Matematika, Kimia, dan Biologi. Padahal, salah satu syarat kelulusannya, tidak boleh ada satu pun dari keempat itu yang ada merah, bagi anak yang memilih natural science.

Tetapi Chloe tau, omongan halus, permohonan yang baik – baik, pemberian pengertian dengan cara menasihati, sudah tidak mempan untuk cowok bengal itu. Oleh karena itu,dia memutuskan untuk langsung ngomong pedasnya saja. Sayangnya, Luke tetap tidak peduli. Anak itu tidak ada takutnya.

Sekarang, Chloe menuju ke ruang kepala sekolah. Dia ingin menyampaikan idenya untuk murid nakalnya itu, demi memperbaikki nilainya.



____________________________________to be continued :)


VOTE KOMODO ISLAND FOR THE NEXT SEVEN WONDERS !

:DD


thanks for taking a peek :P

.angel

chloe.chapterthree

this is a new start , a new chapter has begun!
this is Chloe's third chapter. It's still a few typed, but it's better i post it than i have no post at all .

okay . here it is . :)
________________________________________________________________


~.three.~ tEstS

“So, Luke, please answer me properly the question I’ve asked you before,” kata Chloe sambil melempar tutup spidol papan tulis dan tepat mendarat di atas kepala Luke.

“Aawww.. that’s hurt, Miss…” kata Luke sambil mengulet.

“please answer my question,” kata Chloe.

Beberapa anak terkikik mendengtar kalimat Chloe. James hanya tersenyum licik kepada Luke yang memandangnya bingung, mengharap bantuan jawaban dari dirinya yang pintar tapi genit itu.

“Just answer her, if we’re not kissing, we won’t be contaminated,” bisik James dengan wajah serius.

Luke memandangnya bingung. Tapi, wajah James yang serius itu membuatnya yakin kalau memang itulah jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan Chloe saat dia terlelap tadi.

“Luke, come on!” desak Luke tak sabar.

“Oh, well.. If we’re not kissing, we won’t be contaminated by the viruse,” kata Luke polos.

Tawa anak – anak meledak setelah Luke menghabiskan kalimatnya. Luke hanya memandang mereka dengan pandangan bingung. Apalagi, Chloe dilihatnya sampai memukul – pukul papan tulis karena geli mendengar jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan oleh dirinya.

“That’s what the professor said,” kata Chloe tidak bisa menhan tawanmya, “Okay, I think that’s all for today.. Hmph.. See you all on the test week.. Haha..”

Chloe berjalan tertatih – tatih menuju keluar dari XII-D/na.sc. susah payah dia berusaha menhentikan tawanya. Walau sudah berbagai cara di cobanya, tak ada satupun yang berhasil.

Sementara itu, Luke masih bingung melihat teman – temannya yang juga masih tertawa.

“James, bukannya emang itu yang dia tanya?” tanya Luke polos.

“In fact she didn’t ask you anything, Luke,” kata James sambil tertawa, “kita aja yang iseng. Siapa suruh lo tidur pas pelajarannya dia. She just pretended to ask you question.”

“Damn!” kata Luke kesal. Dia merasa kesal dipermainkan oleh teman – teman dan gurunya itu.

Lalu dia berdiri dari bangkunya, berjalan ke pintu kelasnya untuk ke luar dari kelas yang di penuhi canda tawa itu.

“Where are you going, Luke?” tanya James masih sambil tertawa

“Infimatory,” kata Luke, lalu dia membanting pintu kelasnya kencang-kencang.

“What’s gotten into him?” tanya James bingung melihat Luke yang naik darah itu.



__________________________________________to be continued :)

why is it so few ? because i have no time to type . i've panicked for my new class arrangement this whole day. guess what? i've got 12 A 2 , with some of my besties there.

school gonna start .
don't know if i gotta be happy or sad .
thanks for reading :)

.angel

Thursday 8 July 2010

chloe.chaptertwo.continual3

Guys, I'm posting Chloe again.
I don't know whether you get bored of this story :(
but i really have a block on Aldervallea, my brain was full of things this few days.
So I can't think of good story line :(

So, enjoy what I've post :)))

____________________________________________________________


Luke sendiri tidak tahu apa yang menyambar dirinya. Memang dia tidak yakin kalau Chloe akan baik – baik saja bila diantar pulang oleh James. Tapi, baginya sendiri, ini adalah hal yang luar biasa. Baru kali ini dia menolong guru biologinya.

Chloe terdiam di mobil Luke. Dia masih bertanya – tanya mengapa cowok menyebalkan itu mau mengantarnya pulang.

“Luke, please drive slower,” kata Chloe memecah keheningan.

Luke memandangnya bingung. Baginya, menyetir dengan kecepatan 100 km per jam adalah hal yang biasa. Tapi, bagi Chloe kecepatan itu terlalu cepat baginya.

Luke tidak menurunkan kecepatannya dan dia berhasil membuat Chloe memekik karena ngeri.

“Luke Sherlton!” pekik Chloe saat Luke mengerem mendadak di perempatan lampu merah.

“Luke! You are crazy,” maki Chloe yang merasa jantungnya nyaris lepas.

“Apaan sih,” jawab Luke cuek, “Biasa aja kali. Lebai aja, deh.”

Chloe rada bingung dengan kata – kata Luke. Maklum dia tidak mengerti bahasa – bahasa anak remaja Indonesia sekarang. Tapi dia tahu kalau Luke tidak merasa bersalah padanya.

“Apanya yang apaan!?” omel Chloe lagi, “You drive over the normal range and you said that it’s still normal?”

“Kalau kamu banyak omong, turun aja,” ancam Luke, tapi dia tidak serius.

“Alright,” kata Chloe merasa terusir. Dia turun dari mobil dan membuka pintu belakang mobil untuk mengambil barang – barangnya.

“Hey, Chloe!” ucap Luke yang terkejut karena Chloe menganggap serius perkataannya. Saking spontannya dia sampai tidak sadar kalau telah memanggil Chloe dengan nama depannya.

Chloe tetap serius mengeluarkan barang belanjaannya dari mobil Luke. Cowok itu ikut turun dari mobil untuk menghentikan gurunya mengeluarkan barang.

“Chloe! I’m not serious. Masuk lagi gih,” kata Luke sambil memasukan kembali barang – barang Chloe ke dalam mobilnya.

Lampu merah telah berubah menjadi hijau dan banyak mobil mengklakson mereka karena mereka tidak kunjung beranjak. Chloe dan Luke merasa tidak enak hati. Setelah semua barang sudah masuk ke dalam mobil, dua orang itu pun masuk ke dalamnya.

“Promise me not to drive that fast again,” kata Chloe kesal.

Luke hanya terdiam. Dia menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang normal bagi gadis di sebelahnya, tetapi dianggapnya amat sangat lambat. Dia agak shock melihat tindakan Chloe tadi. Gadis itu adalah orang pertama yang berani menghadapi ancamannya.

***

Chloe segera turun dari mobil Luke setelah dia sampai di depan rumahnya. Cowok itu membantunya menurunkan semua barang bawaan gadis itu dan membawakannya sampai ke depan pintu rumah Chloe.

“Thanks, Luke,” kata Chloe dengan nada dingin karena dia masih kesal dengan Luke yang mengebut tadi.

“Yeah. You are welcome, Miss,” kata Luke singkat. Dia berhati – hati agar tidak salah memanggil Chloe.

“It’s alright.”

“You can call me Chloe outside the school,” kata Chloe sambil tersenyum.

Gadis itu kemudian menutup pintu rumahnya sambil senyam senyum, meninggalkan anak laki – laki yang hanya bisa ternganga seperti terkena kejutan listrik.



_______________________________________to be continued :)

Know what, the second chapter has ended !
I'll post it tomorrow .
Well bad news.
School's gonna start next monday, so i've gotta study again. I don't think I can go online every day :(
but I'll still post it.
So don't leave this story world :)
stay tuned!


.angel

Wednesday 7 July 2010

chloe.chaptertwo.continual2+extra

i haven't got any idea for Aldervallea. Something bad happened yesterday, it made me even more than stuck.
i've got no word to say anymore about it.
enjoy the second chapter of aldervallea :)

_____________________________________________________________________


Sudah seminggu Chloe mengajar di Van Haggen. Banyak hal yang terjadi selama satu minggu ini, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Hal tersering dilakukannya adalah bertengkar dengan Luke setiap kali dia harus mengajar di XII-D/na.sc.

Hari ini adalah hari minggu. Chloe berjalan – jalan sendirian di Supermall Karawaci. Tadinya dia berencana untuk membeli krusteek sebagai aktivitasnya di waktu bosan. Tetapi, niat itu diurungkannya karena dia sadar tidak akan ada cukup waktu untuk membuatnya. Jadi Chloe memutuskan untuk balik ke hobi lamanya, yaitu membuat bintang dari kertas kado, seperti yang dilakukannya saat bosan mendengarkan kata – kata dosennya di Oxford dulu.

Chloe sedari tadi bolak – balik maswuk ke toko aksesoris untuk mencari kertas kado – kertas kado bagus yang akan dipakainya. Dia membeli kertas kado tanpa berpikir berapa banyak uang yang akan dikeluarkannya demi berlembar – lembar kertas kado. Menurutnya, harga kertas kado di Indonesia ini sangat amat murah sehingga dia tidak berpikir panjang untuk membeli kertas kado. Satu kertas kado di Oxford sama dengan sepuluh kertas kado di Indonesia. Harganya jauh beda, tetapi kualitas kertasnya beda tipis.

Kalau Chloe berjalan sendirian seperti ini, tidak ada satu orang pun yang akan menyangka kalau gadis muda ini adalah seorang guru. Apalagi, di sekolah pun Chloe tidak terlihat seperti guru kebanyakan. Selain baru berumur 16 tahun, gaya bicara Chloe dan cara berpakaiannya masih seperti remaja pada umumnya.

Karena merasa lelah, Chloe duduk sendirian di foodcourt. Karena barang bawaan yang harus dibawanya pulang cukup banyak, Chloe sampai bingung dia harus bagaimana membawa barangnya pulang.

Mata Chloe berputar – putar memandangi sekelilingnya. Ditemukan beberapa murid Van Haggen yang pernah dilihatnya di sekolah tetapi tidak diajarnya. Dirinya tidak sadar kalau sebetulnya ada dua pasang mata dari belakangnya yang memerhatikannya, satu pasang milik Luke, satu pasang lagi milik James.

“Luke, itu Miss Arilyse, kan?” tanya James memastikan apa yang dilihatnya.

“Iya kali. Peduli apa?” kata Luke sambil meneruskan memakan McDonald’s nya. Dia tahu kalau itu memang Chloe tapi dia tidak niat untuk melihat gadis itu lebih lama.

“Jutek deh,” kata James sok genit, “Hey, Luke. Chloe’s sweet.”

Luke hanya diam. Memang dia mengakui Chloe itu manis dan cantik. Dia pun mengakui kalau Chloe bisa masuk jajaran cewek manis yang pernah dilihatnya. Tetapi sayangnya, Chloe adalah seorang guru dan yang tambah bikin rese lagi adalah guru mata pelajaran yang sangat amat dibencinya. Kalau bukan guru, hanya sekedar teman biasanya, tanpa banyak bicara Luke akan menjadikannya cewek pertama yang dikejarnya. Siapa sih yang ga mau punya pacar seperti Chloe? Cantik, manis, dan pintar walaupun sering sekali menunjukan sifat kekanakan.

Tapi balik lagi. Sayang dia adalah guru biologi. Setiap kali mengingat satu fakta itu, yang terlintas dipikiran Luke adalah bagaimana caranya mengerjai Chloe sampai gadis itu kesal dan marah. Semakin marah respon yang ditunjukkan Chloe, cowok itu pun merasa semakin puas. Luke kan terkenal dengan sebutan penghancur kelas biologi. Siapa yang tidak tahu kalau banyak guru biologi stres karenanya.

James dan Luke menyelesaikan makanan mereka. Lalu James berdiri dan menghampiri Chloe yang asyik meminum Vanilla Milk Shake nya. Luke nya mengikuti sahabatnya itu dari belakang.

“Hello, Miss arilyse,” kata James ramah.

“Hi, James,” kata Chloe sambil tersenyum ramah. Namun senyumnya menghilang saat melihat ada Luke di sana, “Hello, Jerk.”

Luke melotot saat mendengar Chloe memanggilnya Jerk, “Hello, Dwarf!”

Chloe membalas pelototan Luke yang mengatainya kurcaci. Dia tahu dirinya pendek sekali, tapi dia tidak terima kalau disamakan dengan kurcaci. Dia yakin dirinya tidak sependek itu. James hanya tertawa melihat sahabat dan gurunya itu.

“Are you here by yourself, Miss?” tanya James sopan dan dia duduk dihadapan Chloe. Begitu pula yang dilakukan oleh Luke.

“Yeah. And you just both?” kata Chloe berbalik tanya.,

“As you can see,” jawab Luke dingin.

“Not asking you,” kata Chloe sama dinginnya. Lalu dia meminum vanilla shakenya.

“What are you doing here?” tanya James, “What’re those paper for?”

“Biasa, cewek aneh, James,” ejek Luke tetapi tidak dihiraukan oleh Chloe.

“For making paper stars,” jawab Chloe singkat menahan jengkelnya.

“Child’s play,” kata Luke mengomentari semua perkataan Chloe sampai gadis itu menunjukan wajah kesalnya.

“Hmph. Nonsense,” kata Chloe, “What are you both doing here?”

“Gathering and eat,” kata James cepat – cepat sebelum Luke mengeluarkan serangan kata – katanya lagi.

Terlintas dalam pikiran Chloe untuk menebeng salah satu dari mereka pulang ke rumahnya. Kali saja salah satu dari mereka berniat untuk mengantarnya pulang.

“By the way, would you mind helping me something?” tanya Chloe dengan nada memelasnya.

“We’d be happy to help you, Miss,” kata James dibalas dengan pelototan Luke yang tidak bersedia menolong Chloe.

“Would you mind driving me home?” tanya Chloe to the point, “I’ve got a lot things to bring and…”

“I’d be very happy to help you with it, Miss,” potong James menyetujui permintaan Chloe.

“Really? Thanks!” kata Chloe senang.

James hanya tersenyum melihat keceriaan di muka gurunya itu. Luke tiba – tiba merasa khawatir akan keselamatan gadis manis di depannya itu. Bisa – bisa jadi tidak manis lagi setelah sahabatnya mengantarnya pulang, secara James itu terkenal playboynya. Apalagi, Chloe tinggal di dekat rumahnya yang boleh dikatakan cukup jauh dengan rumah James. Kalau diantar James pulang, Chloe hanya merepotkan James saja.

“Wait,” sergah Luke, “I’ll drive you home.”

Baik Chloe maupun James sama – sama terbelalak kaget. Yang satu tidak mengira kalau muridnya yang paling bengal, bersedia mengantarnya pulang. Walaupun begitu, dia merasa lebih aman diantar Luke dari pada diantar James yang dia rasakan memiliki aura aneh.

James tentu saja kaget. Sahabatnya yang sejak dulu selalu menyusahkan guru biologi, kali ini berbaik hati mau mengantarkan gurunya pulang ke rumah. Betul – betul hal yang tidak mungkin dilakukan Luke sebelumnya.

“Serius lo? Apa ga ribet?” tanya James masih bingung dengan kelakuan temannya.

“Rumah gw deket sama rumah dia,” jawab Luke pelan, “Kalau mau pulang, sekarang. Abis ini gw ada urusan soalnya.”

Chloe masih tidak percaya kalau Luke bersedia mengantarnya pulang sampai akhirnya Luke berdiri dan membawakan barangnya.

“Duluan, James. Bye,” kata Luke lalu berjalan pergi.

“Oh, wait, Luke. Goodbye, James,” kata Chloe lalu dia berjalan pergi mengikuti Luke ke parkir mobilnya.



______________________________________to be continued :)

I'm gonna make a poem, expressing what i've been feeling these days . It's just a small poems, not as long as I've made.
so i put it here for an extra :P

A scar will cure, but it’ll left a hurt

A hurt might heal, but it might be not too

A healed hurt might be back into hurt

Can’t deny, but things have been circling on that round

Oh. I really don’t know what to do L


Well, that's a simple poem, right ? :)
thanks for reading :)


.angel

Tuesday 6 July 2010

chloe.chaptertwo.continual

hello, readers :)
it's me again. everyday it's always me. Well, i'm posting Chloe again today because i've got no inspiration for Caesar's :)
by the , i felt a little bit strange yesterday. normally, if i read a sad part of story , i'll badly cry too. but when i read my own writings, about the sad pat, i didn't cry but i smiled. strange right?
And i also thinking to make a sad love story, not a happy ended one. :)))

still, i haven't post the sad part of the story.

___________________________________________________________


Chloe duduk di bangku luar kamarnya sambil memandangi langit malam. Dia menganggap hari pertamanya mengajar di Van Haggen School menyenangkan. Dia berharap agar hal menyenangkan seperti ini terus datang selama dia mengajar.

Ini bukan pertama kalinya Chloe mengajar orang lain. Selama kuliahnya dulu di Oxford, dia pernah mengambil part time menjadi guru taman kanak – kanak saat liburan kuliah dan beberapa kali dia mengajar privat untuk anak – anak sekolah dasar. Karena dia merasa sangat enjoy mengajar anak – anak SD dan TK itu, dia bertekat menjadi guru saja.

Saat Van Haggen School mencari guru di Oxford University, tanpa berpikir panjang Chloe segera mendaftarkan diri sebagai guru SD. Akan tetapi karena pendidikannya yang telanjur tinggi dan karena dia dianggap terlalu jenius untuk mengajar anak SD, gadis itu ditempatkan sebagai guru SMA.

Kini yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana caranya menjadi seorang guru yang baik agar berkenan di hati para muridnya. Dia tidak ingin menjadi guru yang dibenci murid – muridnya. Chloe tidak ada bayangan seperti apa dia harus menjadi guru karena selama hidupnya, dia belum merasakan bagaimana bersekolah di sekolah normal.

Sejak gadis itu berumur empat tahun, dia pernah mengikuti tes IQ dan tak di sangka IQnya sangat tinggi. Berhubung takut otak pintarnya sia – sia, Nyonya Johanna memasukkannya ke dalam sekolah akselerasi sejak dia TK. Bagi Chloe, saking jeniusnya dia, umur 12 tahun dia sudah lulus SMA tanpa masalah. Karena itu dia disekolahkan ke Oxford mengambil jurusan ilmu alam untuk sarjana awalnya. Tentu saja dengan program akselerasi. Baginya, masuk kuliah di Oxford adalah saat – saat di mana dia benar – benar belajar. Apalagi karena selama masa kanak – kanaknya Chloe tidak pernah berniat belajar bahasa Inggris, selama tahun pertama di Oxford dia mengalami kesulitan bahasa dalam komunikasi dan pelajaran. Untung saja dia berhasil bertahan dan melanjutkan kuliah masternya untuk mendalami mata kuliah biologi.

Tidak sampai seratus meter dari rumah gadis itu, seorang anak laki – laki sedang asyik memainkan DoTA di depan layar komputernya. Saking serunya, dia sampai tidak mendengar pintu kamarnya diketuk oleh seseorang.

“Luke!” panggil orang yang mengetuk kamar cowok itu.

Luke yang memakai headphonenya tentu saja tidak mendengar panggilan dari Dokter Kent yang sedari tadi mengetuk pintu kamarnya.

Dokter Kent kehilangan kesabaranya setelah sekian lama pintu yang dsiketuk tak kunjung terbuka. Dibukanya pintu kamar anak semata wayangnya itu dan didapatinya anaknya itu sedang mengumpat – umpat dengan kata – kata kasar dalam bahasa ibunya.

Luke tetap tidak sadar kalau ayahnya sudah masuk ke dalam kamarnya sampai Dokter Kent menarik headphonenya dan mematikan monitor komputernya.

“Aw, jahil banget sih, Pa!” kata Luke marah, “bisa – bisa jadi kalah. Padahal tadi sudah nyaris menang tuh! Aaaah!”

“Biar. Dari tadi kamu dipanggilin malah tidak menyahut,” sahut Dokter Kent, “Bagaimana tadi sekolahmu? Apa Ma’am Rose lagi wali kelasmu?”

“Biasa saja,” jawab Luke dan dia mematikan perangkat komputernya, “Bukan Rose. Ada guru baru.”

“Sayang sekali. Padahal dia wali kelas terbaikmu,” kata Dokter Kent kecewa.

Apanya yang terbaik. Selama 3 tahun gw di walikelasi dia, gw jadi bulan – bulanannya terus. Rese, umpat Luke dalam hatinya.

Luke tidak memedulikan ucapan ayahnya lagi. Dia bergegas mengambil kunci motornya dan keluar dari kamarnya, meninggalkan ayahnya sendirian di dalam kamarnya. Dia menuju garasi rumahnya dan mengeluarkan motornya, lalu melaju kearah mini market di dekat rumahnya dengan kecepatan tinggi.

***

“Aaaa! Jangan ambil yang itu!”

Luke membalikkan badannya. Dilihatnya guru biologi sekaligus wali kelasnya berkeringat di depan matanya. Tapi Luke tidak peduli. Dia tetap saja mengambil coklat Van Houten Fresh Milk yang tersisa satu. Sesuai dengan hukum rimba. Siapa cepat, dia dapat.

Luke berjalan dengan cuek melewati Chloe yang hanya bisa memandangti coklat yang digenggam oleh cowok itu dengan pandangan memelas. Chloe berjalan menuju keluar minimarket X dengan lesu. Padahal dia sengaja keluar rumahnya hanya untuk membeli coklat favoritnya. Siapa sangka dia keduluan oleh Luke.

Sudahlah. Maybe this is not the right time for eating the chocolate… kata Chloe dalam hatinya.

Dia membalikan badannya, melihat Luke sedang asyik memakani coklat yang diimpikannya itu. Terlintas dalam pikiiran gadis itu untuk meminta sedikit cokelat dari Luke. Tetapi dia yakin kalau cowok cuek itu tidak akian mau berbagi dengannya. Tapi, apa salahnya mencoba?

“Luke! Luke Sherlton, right?” sapa Chloe saat Luke menyalakan motornya.

Luke hanya memandang Chloe dengan pandangan protes karena Chloe tidak memanggilnya seperti yang diharapkannya.

“Luke, please give me a little chocolate of yours!” pinta Chloe dengan suara yang tadinya mau dibuat memelas tapi justru terdengan memaksa di telinga Luke.

“No,” jawab Luke singkat. Dia sudah menstarter motornya, bersiap – siap untuk melaju.

“Please, almighty Luke,”pinta Chloe kali ini berhasil dengan nada memelas. Tetapi, nampaknya Luke tidak berniat untuk membagi sedikit coklatnya.

“I’ve gotta go,” kata Luke dan dia pun menjalankan motornya.

Chloe merasa kesal sendiri. Pertama dia tidak mendapatkan coklat yang sangat disukainya. Kedua, tingkah Luke yang sama sekali tidak mencerminkan kalau dirinya sedang berhadapan dengan orang yang dikenalnya.

Chloe berjalan sebal kembali ke rumahnya sambil mengumpat – umpat. Tiba – tiba sebuah motor biru besar datang menghampirinya.

Wajah Luke terlihat menyeringai licik saat dia menunjukan wajahnya di balik helm. Chloe hanya bisa manyun melihat murid yang baru hari pertama sudah membuatnya kesal.

“What do you want? Get out of my way,” kata Chloe ketus.

Luke merasa nostalgic melihat Chloe seperti ini. Dia sangat ingat kejadian di Pondok Indah tengah malam dulu. Disangkanya gurunya ini adalah seorang anak kecil yang bisanya hanya mengancam.

“Nothing,” jawab Luke masih dengan seringai liciknya, “Are you alone?”

“As you can see,” kata Chloe jutek. Lalu dia berjalan melewati Luke yang asyik mengunyah Van Houten. Dia sengaja memakan Van Houten di depan gurunya itu.

Pada awalnya, Luke memang hany iseng menghampiri Chloe. Sekedar ingin memamerkan Van Houten yang tidak berhasil didapatkan oleh cewek itu. Akan tetapi, setiap berhasil Chloe mengeluarkan wajah kesalnya, ada sebuah kepuasan khusus di dalam hatinya. Lucu bagi Luke saat melihat wali kelasnya kesal.

Luke mengikuti Chloe sampai gadis itu membuka pintu pagar rumahnya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Chloe tinggal di tempat yang sangat dekat dengan rumahnya.

“Night, Luke. Do not go racing tonight,” kata Chloe. Lalu dia masuk ke dalam rumahnya dan membanting pintu rumahnya karena kesal dengan sifat muridnya yang menyebalkan itu. Dari jendela Chloe melihat Luke menyeringai dengan lebar seakan – akan baru memenangkan sebuah pertandingan.

“1-0!” kata Luke sengaja keras – keras agar guru biologinya itu bisa mendengarnya.



_______________________________________to be continued :))

how is it? how is it? good? or bad?
:)
thanks for reading :))
new post tomorrow or tonight :P

.angel

Monday 5 July 2010

chloe.chaptertwo

Nah.
Right I promised back in my latest post, i'll post Chloe's right away.
It's a bit longer than before because i can't part it :(

Okay. begin reading :))

_________________________________________________________________


~.two.~ sTartS

Luke berlari secepat – cepatnya menuju kelas barunya, XII-D/na.sc. XII untuk menandakan kelas 12, D adalah nama kelasnya, dan na.sc adalah kode jurusan natural science atau ilmu alam yang diambilnya sejak kelas sembilan. Hari ini adalah hari pertamanya memulai tahun terakhir di Van Haggen International School. Laki – laki itu ingin sekali cepat lulus dari penjara laki – laki ini. Maklum, Van Haggen adalah sekolah khusus laki – laki dan Luke sudah bersekolah di sini sejak dia kecil. Jadi wajar saja kalau dia sudah bosan dengan pemandangan laki – laki di mana – mana. Kalau pun melihat wanita, yang ada hanyalah kumpulan wanita galak dengan umur yanag sudah mulai tua.

“Sorry, I am late,” kata Luke saat dioa membuka pintu kelasnya, dan dia pun sukses menjadi pusat perhatian teman – temannya.

“Hey, Luke! You are late as usual, huh?” sahut sahabatnya James yang duduk di kursi belakang.

“Yeah. I was staying awake until night. You know, games…” kata Luke, dia menduduki bangku kosong yang sudah disisakan oleh James untuknya, “Where’s our teacher?”

“She forgot to bring the students list, so she went back to teachers’ roomn to take it,” kata James.

“Hmm… So SHE is a girl than. Is she Mrs Rose or Mrs Wellington?” tanya Luke.

James menggelengkan kepalanya, “I don’t know. I just heard the voice when I stood near the door. It was a woman panic voice.”

Luke hanya menggelengkan kepalanya. Telinga sahabatnya itu memang peka bila ada suara perempuan. Apalagi, di sekolah khusus pria begini, suara wanita jarang terkenal. Kecuali cleaning service, guru, atau penjaga kantin sekolah.

Tidak lama, pintu kelas pun terbuka. Anak – anak kelas XII-D/na.sc hanya bias melongo melihat guru baru mereka. Siapa yang pernah menyangka kalau sekolah akjan merekruit seorang perempuan muda untuk mengajar. Kelas menjadi ricuh riuh saat guru mereka itu berdiri di depan kelas.

Guru itu tidak lain adalah Chloe yang sedari tadi berusaha menenangkan dirinya. Entah kenapa dadakan dia merasa gugup. Padahal, semalam dia sama sekali tidak merasa gugup atau sejenisnya. Kenapa sekarang justru hatinya berdebar kencang sekali?

“Chloe, calm down,” gumamnya pelan.

“Good morning, class,” katanya berusaha agar suaranya tenang, tidak bergetar, agar tidak ada yang tahu kalau dirinya gugup.

“Morning, Ma’am,” jawab murid – muridnya. Oh iya. Sebelum memasuki kehidupan di Van Haggen lebih jauh lagi, harus diberitahukan bahwa sekolah ini adalah sekolah internasional. Semua warga sekolah wajib berbicara dalam bahasa Inggris. Bila tidak, tidak akan di jawab.

Chloe menyergit saat mendengar kata “Ma’am” yang terucap dari mulut para muridnya. Dia bertanya – tanya sendiri apa wajahnya terlihat seperti orang yang sudah menikah sampai – sampai semua muridnya memanggilnya begitu. Padahal, semua teman dan sanak saudaranya selalu mengatainya anak baru masuk SMP.

“Ma’am? Do I look that old?” kata Chloe pelan.

Luke tiba – tiba menegakan badannya. Dia menatap Chloe dari atas sampai ke bawah dan berulang kali meyakinkan dirinya kalau dia belum pernah bertemu dengan Chloe sebelumnya.

“Of course you don’t , Ma’am,” kata James dengan nada centil. Tidak heran. James memang suka menggoda wanita tanpa melihat umur mereka.

“if that so, why do you call me ‘Ma’am’, then?” kata Chloe dengan logat Britishnya yang masih kental membuat beberaqpa muridnya terkagum – kagum mendengarnya.

“Because every female teachers have already married and they’re old,” kata Luke ceplas – ceplos seperti biasanya.

Chloe melihat ke arah Luke yang suaranya mengusik ingatannya. Dipandanginya orang yang juga memandanginya itu. Ingatan Chloe rupanya tidak seburuk ingatan Luke. Dia ingat betul pernah melihat Luke di depan rumahnya dulu. Walau begitu, dia tidak terlalu memusingkan hal itu karena menurutnya sama sekali tidak ada hubungannya bila masalah itu di bawa – bawa ke dalam kelas.

“Do I look married?” tanya Chloe, buru – buru dia menambahkan, “Nevermind. I’m single. Just don’t call me ma’am anymore.”

Mendengar pernyataan Chloe kalau dia masih single, kelas dadakan menjadi ricuh. Maklum, secara sekolah Van Haggen selama ini nyaris tidak pernah memperkerjakan seorang guru wanita muda dan belum menikah. Biasanya selalu wanita separuh baya yang sudah menikah dan mempunyai anak.

“Silence!” kata Chloe tajam.

Murid – muridnya pun segera diam. Chloe merasa senang karena mendapat murid – murid yang respek terhadap perkataannya. Tapi, dia lupa kalau hari ini adalah hari pertama sekolah. Murid – muridnya belum menunjukkan sikap liarnya.

“First of all, let me introduce myself,” kata Chloe sambil tersenyum manis, “I’m Chloe aAeilyse. Just call me by Ms. Arilyse. I’m your homeroom teacher for this year and I teach biology for the XII graders.”

Luke langsung kehilangan minatnya pada guru barunya setelah mendengar kata biologi terucap dari mulut Chloe. Dia terkenal paling anti dengan biologi baik sekedar mendengar kata itu ataupun mempelajari pelajaran itu. Saking bencinya dengan pelajaran biologi, cowok itu selalu mencari masalah dengan guru – guru biologinya sampai pernah satu saat dia berhasil membuat salah satu guru biologinya mengundurkan diri lantaran tidak sanggup mengajari Luke. Ekstrimnya lagi, tahun lalu, buku biologinya berhasil dihanyutkan di sungai Cisadane tanpa diketahui oleh orang tua dan teman – temannya.

“Well, have you got any question about me?” tanya Chloe masih memamerkan senyumannya.

“How old are you?” tanya James semangat dan ngebet dengan guru manisnya. Pertanyaan ini hanya diajukan sekedar basa – basi agar menarik perhatian Chloe.

“Um… I can’t tell you that. That’s a top secret,” kata Chloe. Dia sengaja merahasiakan umurnya yang tidak berbeda jauh atau bisa lebih muda dari murid – muridnya agar tidak diremehkan karena umur muda itu.

“Awww. 21st?” tebak James malah jadi penasaran.

Chloe menggelengkan kepalanya.

“23rd?” tanya seorang anak yang lain.

Chloe menggelengkan kepalanya lagi dan berharap tidak ada lagi yang menebak dengan awalan dua. Dia yakin sekali kalau mukanya sangat tidak terlihat seperti seorang wanita berumur dua puluhan.

“Hmm,” kata Luke, “12th?”

Chloe membelalakkan matanya, “12?”

“You really look like a twelve years old girl,” kata Luke sengaja mencari masalah dengan Chloe kaarena gadis itu mengajar biologi.

“I’m aware of that,” kata Chloe tenang, “But, surely I’m not twelve.”

Luke hanya diam dan merasa kalau dia tidak mendapat respon yang dia ingin kan. Dia berharap Chloe akan kesal. Tetapi dia tidak tahu kalau Chloe sudah terbiasa disangka sebagai anak baru lulus SD yang berumur 12 tahun.

“So, 16?” tanya Luke asal tapi tepat sasaran.

“Who knows?” kata Chloe tidak mengiyakan umurnya yang sesungguhnya itu, “Next question, please.”

“What’s your educational background?” tanya seorang murid berkacamata yang duduk di paling depan.

Kali ini Chloe bangga menjawab pertanyaan itu.

“Master of biologycal science, Oxford University,” kata Chloe singkat padat jelas dan jelas membuat Luke merasa telinganya baru disengat lebah beracun. Dia tidak pernah menyangka sampai ada seorang gadis muda dan cantik yang merelakan waktunya untuk mempelajari biologi. Jelas bukan Luke banget itu.

“When is your birthdate, Miss?” tanya James lagi.

“April 4th. You have to wait for seven months and three days to give me the pres…”

“What? April 4th?” sahut Luke sambil memukul mejanya karena tidak menyangka kalau ulang tahun Chloe identik dengan hari kelahirannya.

“Why is it?” tanya Chloe dengan nada bingung. Begitu pula anak – anak lain termasuk James yang merupakan sahabat Luke. Dia dan teman – temannya tidak ada yang tahu kalau tanggal empat itu adalah hari ulang tahun Luke karena dia tidak pernah memberitahukan hari ulang tahunnya ke orang lain selain keluarganya.

“Nothing. You were born on a death date,” kata Luke asal.

“So?” kata Chloe jutek. Dia paling tidak suka kalau ada orang menganggap angka empat adalah angka sial atau angka kematian.

Pada hari itu, Chloe hanya berbincang – bincang mengenai dirinya dengan murid – muridnya. Sampai akhirnya dia teringat kalau dia sendiri harus mengenal murid – muridnya. Maka dia mengeluarkan daftar nama siswa kelasnya yang sempat tertinggal tadi. Dia meminta semua muridnya memperkenalkan diri mereka.

Sampai akhirnya giliran Luke pun tiba.

“Next, Luke Sherlton,” kata Chloe pelan.

Luke berdiri dari bangkunya, dan maju ke depan, sama seperti yang dilakukan oleh murid – murid yang sudah dipanggil sebelum gilirannya.

“My name is Luke. Call me ‘the mighty Luke’. Age 17, male, single,” kata Luke malas – malasan.

Chloe melihatnya dari atas sampai bawah. Cahayan matahari yang masuk melalui jendela membuat Chloe menyadari ada sesuatu dengan rambut Luke.

“Luke, right?” kata Chloe. Matanya masih terpana dengan rambut jabrik Luke.

“No. You’ve got to call me the mighty Luke,” kata Luke yang senang melihat wajah Chloe saat dia mengucapkan tiga kata terakhir.

“Come nearer please,” pinta Chloe.

Luke malas – malasan maju mendekati Chloe yang tidak bisa berhenti tersenyum sambil memandangi rambut trade mark Luke. Setelah berdiri di sampingnya, Chloe sedikit berjinjit untuk melihat rambut muridnya itu. Tapi karena tubuhnya jauh lebih pendek dari Luke, usaha berjinjitnya jadi sia – sia.

“Luke, can you lower down your head a little please?” pinta Chloe lagi.

“Why don’t you stand on the chair, Miss?” ejek Luke lalu dia sedikit membungkuk. Chloe hanya bisa manyun mendengar pernyataan dari Luke. Tetapi dia tidak bisa marah bila Luke mengatainya seperti itu karena memang kenyataannya begitu.

“Wow!” kata Chloe terkagum – kagum saat menyadari kalau diujung rambut Luke ada warna biru yang hanya terlihat bila terkena sinar matahari, “How can you do it?”

“Do… do what?” tanya Luke pura – pura bingung, “I just put a gel there.”

“Not that! The color of blue! How can you hide it?” tanya Chloe gregetan.

“What are you talking about? This hair is black since I was born!” kata Luke menutup – nutupi kenyataan kalau dia memang mengecat biru rambutnya. Dia tidak ingin ditanya – tanya lebih lanjut oleh Chloe maka dia segera kembali ke tempat duduknya.

Chloe hanya terdiam bingung. Dia yakin tidak ada yang salah dengan mata sehatnya itu. Dia yakin kalau rambutnya biru. Tetapi kenapa Luke tidak mau mengakui keindahan rambutnya itu. Tiba – tiba dia ingat kalau peraturan sekolah tidak memperbolehkan ada murid yang mengecat rambut mereka, karena itulah Luke berusaha menyembunyikan warna rambutnya. Akan jadi masalah bila ada guru yang mengetahuinya. Dan sekarang seorang Chloe sudah mengetahui akan hal itu. Dia hanya bisa berharap agar Chloe tidak memberitahukan ke guru – guru lain.

“Just presume that I mislooking,” kata Chloe sambil tersenyum, “You owe me one. I like your hair.”

Luke hanya memandang gadis itu dengan tatapan tidak percaya. Guru macam apa ini? Muridnya jelas – jelas salah mengecat rambut malah dibantu untuk menyembunyikan. Tapi, Luke lega. Setidaknya dia tidak usah keluar uang untuk menyemir hitam lagi rambutnya bila Chloe membeberkan ini ke guru – guru lain.



_________________________________________to be continued :)

it's not the end. there are plently paragraphs waiting to be posted.
i'll post it tomorrow.
comments please .

thanks!!

.angel

aldervallea-chapterone-rheina's_3

hey readers :)
maybe you're wondering when this chapter will be ended. And now i can state it now. This is the last part of Rheina's story. So I'll post about Caesar tomorrow :)
Okay. Here it is :)
Enjoy reading :))


_________________________________________________________________


I stare at Narcissa’s with big eyes. She just gives me a smile. I just don’t know what she’s thinking. If Caesar notices it, my disguise will be a failure.

“WHAT? FIANCE?“ some girls shout, “Do you really have a fiancĂ©, your highness?”

Caesar tossed his head with his hand, “Must you spoil the engagement thing?”

“Haven’t your people known about this?” Narcissa asks, “In Alderichia, people have known my little sister is engaged.”

“You spoil the thing I never want to be announced,” Caesar says.

“It’s something good to be announced I think,” Narcissa says.

“No, it’s such a new that horribly worst,” I say silently.

“Did you just say something?” Narcissa asks.

“Nothing,” I say, “Can I get back to my seat?”

“Yes, you can,” she says.

I walk back to my seat, behind the prince’s. The girls in the class become noisy because of the news they’ve just heard.

“Your Highness, are you really engaged?” Louisa asks.

“The official engagement hasn’t been done. And it won’t have to be done,” he explains, “I never want to be engaged. They just decided it by themselves. I’m not going to marry her, that’s why I forbid the castle published the news.”

It’s a relief to hear he doesn’t want to be engaged as well. It would be troubled if he were willing to be engaged.

“You both quite similar,” Narcissa giggles, “She also said things like that back in Alderichia.”

I look at Narcissa. Oh, please. Don’t compare me with this kind of guy. Even though we both don’t want to be engaged, I don’t want to be compared with a person like him.

“So she doesn’t want to, eh? Just break this stupid engagement,” he says.

“Yeah, just break it,” I say. I quickly put my hands on my mouth. I have no right to say it here. I can’t act like I’m the one who’s being engaged. Those words were slipped out from my mouth.

Caesar turns his head to me. He looks at me, he grins, “Huh? What’s with you? It’s not your business.”

“Nothing,” I say, I turn my head into another direction.

“He he. I think you’re mad to hear I’m engaged,” he says, “Even I’m not engaged, I won’t be with you either.”

He’s got a great confidence within himself.

“Who says I’m mad. I’m just feeling pity for the girl who’s engaged to you. I believe she won’t to marry you too,” I say.

“Really? How can you be so sure?” he asks.

“Miss Narcissa just said it right?” I say, “That’s normal if she doesn’t want to marry you. I can’t help thinking if she agrees to marry you.”

“Whatever,” he says, “Has anybody taught you to respect your own kingdom’s prince? You just call me ‘you’, don’t you know you’ve got to call me ‘Your Highness’? You’re not even my sister, you’re just a low class people. Be careful when talking with me.”

“What do you mean by low…” I stop and I remember I’m not the same rank as him know, “Sorry, Your Highness.”

“Be thankful that I still forgive you,” he says.

“Have your argues finished?” Narcissa asks, “I need to start the lesson now.”

“Go on,” he says. Then Narcissa begins to teach us her lesson.

Yeah. Facing him make me emotionally lost myself and forget my act here. I’m acting as the low class girl. I’ve forgotten what Narcissa told me before coming here. She said about one of the culture differences between Alderichia and Valleyursh.

In Alderichia, civilians can talk freely in their way of speaking. They don’t need to be so formal with the king’s family. Even though I’m their princess, they don’t really treat me as a princess in normal life. If there’s some evens, it’s the time they have to be formal. In Valleyursh, Valledia’s family is highly respected by their people. They always use the words “Your Highness” when speaking with them. And when I’m here, acting as a civilian, I forget it all because I’m not used to it.

As my elder sister begins to teach, my eyes begins to close. I can’t help sleeping when learning.


_______________________________________to be continued :DD

well. it's the end of chapter one.
i hope you like it :)
okay.
i'll post Chloe's second chapter right after this :)

comments and follow please :D
thanks!


.angel

chloe.chapterone.continual2 :)

hey guys.
before i post Chloe's story, i'd like to tell you something ...
LET'S VOTE KOMODO FOR OUR NEW SEVEN WONDERS!
it will be great if our country can enter the seven wonders. :)
so vote it. i've voted and i hope you all will :)
just open www.new7wonders.com and vote :)

okay, less talk write more.

_________________________________________________________________


“Apa?! Jadi guru?” kata Nyonya Johanna kaget mendengar kata – kata anak perempuannya.

“Yes, Mom…” jawab Chloe mantap.

“Kamu yakin? Ngajarnya di Van Haggen?” tanya Nyonya Johanna.

“Yes, Mom. I’ve made up my mind. Jadi guru kan enak,” kata Chloe cengengesan membuat ibunya tidak yakin dengan keputusan yang diambilnya.

“Chloe! Ini serius! Bukan masalah enak atau tak enak. Kamu yakin? Kamu bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan menjadi guru!” kata Nyonya Johanna rada kecewa. Padahal dengan berat hati dia melepas Chloe ke Oxford agar dikemudian hari dia bisa menjadi orang hebat, eh sekarang malah hanya menjadi guru. Kalau tahu begini sih seharusnya dia tidak usah belajar jauh – jauh ke sana. Ambil saja kuliah kejuruan di IKIP sana.

“100%, Mom. Aku akan mengajar di Van Haggen International School. So, my salary is high than a normal teacher,” kata Chloe berusaha meyakinkan ibunya.

“Chloe, Van Haggen sangat jauh dari sini. Kalau kau ke sana, tentu semua gajimu akan habis untuk biaya transportasi ,” kata Nyonya Johanna.

“Mom, you don’t have to worry,” kata Chloe, “Sekolah menyediakanku sebuah rumah dekat Van Haggen.”

“Chloe, untuk apa kamu menjadi guru? Dengan pendidikanmu sekarang, kamu bisa mendapat pekerjaan yang lebih baik dari itu…” kata Nyonya Johanna.

Chloe berpikir sebentar, “Because… Mengajar itu menyenangkan. By the way, how’s bout you, Dad?”

“Terserah kamu saja. Kalau kamu suka mengajar, silahkan saja jadi guru. Sebagai orang tua kita kan hanya bisa menyemangatinya,” kata Tuan Sam bijaksana.

Nyonya Johanna hanya terdiam mendengar kata – kata suaminya. Memang betul apa yang dikatakan suaminya dan dia sama sekali tidak ada perlawanan terhadap kata – kata itu. Tetapi entah mengapa, Nyonya Johanna masih tidak bisa terima kalau anaknya akan menjadi guru.

“Thanks, Dad,” kata Chloe dan dia pun memeluk ayahnya.

Tuan Sam hanya tersenyum padanya. Apapun yang akan dilakukan anaknya, dia hanya akan mendukungnya seratus persen selama hal itu masih dinilai baik dimatanya. Dia memutuskan akan berusaha meyakinkan istrinya agar rela Chloe menjadi apa yang diimpikannya.

***

Chloe memandang rumah yang berada di depan matanya sekarang. Rumah itu bisa dibilang tidak ada seperempat rumahnya di Pondok Indah. Bahkan, rumah itu jauh lebih kecil dibandingkan rumah – rumah sekelilingnya. Tapi, inilah rumah yang dipilih oleh Chloe dari sekian banyak rumah yang ditawarkan Van Haggen School untuk ditempatinya.

“Kurang lebih satu kilo menuju sekolah,” kata Ibu Mary, bagian humas sekolah Van Haggen, “Kamu akan membutuhkan kendaraan untuk ke sana.”

“Hmmm… I think bicycle is enough, Ma’am,” kata Chloe, “Beside, I walked a lot to campus before. By the way, Ma’am, it’s better for me to speak English with you than I’ve got to speak Indonesian. Would you mind it?”

Ibu Mary tersenyum melihat anak cewek itu, “No, that’s good. Really. Van Haggen staf should speak English though. I’ll ask someone to buy you a bike. If you need something, talk to me, alright?”

“Okay, Ma’am,” kata Chloe.

Chloe memasuki rumah yang akan dia tempati. Dia senang melihat seluruh perabot rumah barunya ini. Semua perabotnya mengingatkan akan tempat kosnya selama berada di Oxford. Chloe masuk ke dalam kamarnya. Segala pernak pernik yang akan dibutuhkannya dan kasur sudah tersedia di sana. Tidak hanya kamar, tapi sampai halaman belakang pun semua sudah diisi perabot. Jadi gadis itu tidak perlu membeli barang – barang lagi. Paling, saat resmi pindah nanti, Chloe akan menambah lemari kecil untuk koleksi tas dan sepatunya.

“Thank you so much, Ma’am. This is more than best,” kata Chloe kepada Ibu Mary.

“You are very welcome, dear. I’ve gotta go. Remember, september 1st , the new academic year will start. We have a meeting at August 29th. I’ll see you there,” kata Ibu Mary.

Ibu Mary pamit dan Chloe mengantarnya sampai ke depan rumahnya. Lalu dia menghubungi orangtuanya dan memberitahu alamat rumah barunya sehingga mereka bisa berkunjung ke sana. Setelah itu, Chloe membaca map yang diberikan oleh Ibu Mary mengenai materi apa yang akan dibawakannya pada tahun ajaran depan nanti.




_____________________________________to be continued :)))

well .how is it ?
it's the end of chapter one ..
it's not that long. i'll post the next chapter tomorrow.

okay
comments please :)
thanks

ps: don't forget to vote komodo!
:P


.angel

Sunday 4 July 2010

aldervallea-chapterone-rheina's_2

good afternoon, dear readers :)
here is the next of Aldervallea. Finally, I've got some time to continue the story. Today is really a free from activity day, so i can type my idea well.
let's begin reading!
enjoy :)

________________________________________________________________


That’s how I got here. I’ve begged my parents not to send me here but all efforts are useless. I’m here, in Varlexia School. I’ve made up my mind. I’ll adapt here with the country, with the citizens, but not to adapt with the loyal family. So, I don’t live in the loyal castle, but I’m here as a civilians from a faraway village, disguising as a scholarship student and I’m put on one class with the prince who is sitting in front of me now. Nobody knows I’m Rheina, as I changed my name into Rheiya and I completely change my look. I never wear any glasses; I always use soft lenses, so now I need to put on glasses on my face. I desperately have a pony tail which I really hate to have. Hair color isn’t a problem since Alderichia’s loyal family hair has the same color with Valledia’s civilians. The one who knows I’m Rheina is only my elder sister, Narcissa, who has been teaching here for three years. She’s my home room teacher.

Beside the air, I feel a great differentiation between my country and the country I am sitting in right now. It’s my first day in Varlexia School. And in front of my desks, the prince is talking with the other students, and he sits in a chair with a long-straight-hair girl. His hand circles the girl’s shoulder and then he kisses the girl’s chicks, then her lips. They are kissing hotly in front of my eyes, not only me but also people in the class. But no one really care about it, they still act normally. They aren’t shocked at all.

For me, it’s a big thing to be seen, since this is my first time to see people kissing in front of me. But no one but me surprises. Maybe it’s a culture shock. Kissing right in front of the public is not the right thing to do in my country, but it’s normal here. I need to overcome all culture difference to adapt well. And I don’t think I will overcome this culture, since my blood is too conservative to accept those kinds of things.

I look at the prince’s from his back. His silver hair is spiked up and he looks tall. He is the one who my dad said I was going to marry with. But I don’t think he’s a good one. I see him kissing with a girl right in front of me. I don’t want to have such a free husband. Kissing girls around him, I really dislike it.

He notices I’m looking at him. He turns his head and gives me a grin.

“Haven’t seen you around,” he says.

“I’m new here,” I say then I added, “Your Highness.”

He stands up and walks right in front of me.

“You’ve got a nice face,” he says, “you’re pretty.”

“Thanks,” I say.

His hand touches my chic; suddenly he kisses me for some second.

PLAKK!

My right palm lands a hit on his face. He looks at me surprisingly. He might have never thought that he was going to be punched. I wouldn’t have done it if he hadn’t given me that sudden kiss. My hand flew by itself; I just know I’ve punched him.

“Hey! How dare you punch me?” he says surprisingly.

“Why shouldn’t I dare?” I ask him back, “You worth of my punch.”

“You,” he raises his hand but suddenly he stops, “If you were a boy, I’d be happy to finish you off.”

“Sorry, I am a girl,” I says.

“I’ve never met such a girl like you before,” he says, “tell me your name.”

“You don’t need to know mine,” I say.

“The prince tells you so, just tell him your name,” the girl with a straight golden hair says, “Is your chic hurt, your highness?”

“Not that hurt, don’t worry, Louisa. I’m fine. Beside, a punch from a wrecked girl such as her is not hurt enough to be called as ‘painful’,” he says. Again he kisses his girl and then he turns to me, “Well, I don’t know who you are, but you should be grateful that I’m not gonna take any action of what you’ve done to me since you are still freshman. If you dare to do this again, I don’t know what will happen to you.”

I say nothing to his threat. His image in my mind has already been worst, and I bet mine also worst in him. But the fact he doesn’t know that I am his—I don’t want to admit it—fiancĂ©, so my bad image won’t be taken as Alderichia’s princess image, it will be taken as Rheiya’s image. I’ve got no burden then. Even if he knew who I really am, I wouldn’t be a problem. It’d make my private mission to break this forceful engagement had a higher success percentage.

The prince has nothing to say anymore. He’s back to his business with his girl called Louisa. A few minutes have passed, my sister, Narcissa, enters the class. Nothing much changes of her style, only her dress change into teacher’s suit. Narcissa will always be Narcissa with her cold and sharp green eyes.

As she enters the classroom, the noise fades. She smiles at us, the students.

“Good morning, class,” she says.

“Morning,” the students say.

“Well, Caesar, what’s with your swollen face?” she asks the prince, “It’s rare to see your face hurt.”

“It’s nothing,” he says coldly, “A present from the newbie.”

Narcissa grins and looks at me, then looks back to Caesar, “Wow. I’ve never thought you’ll be beaten.”

“I’ve never thought of it too,” Caesar says, “Better you introduce this little monkey girl to us.”

“Caesar!” Narcissa says, “You’re a prince, yet your words aren’t better than a bandit.”

Caesar says nothing. I guess I’ve known why Narcissa is chosen as our homeroom teacher. She’s the only teacher who can bravely shout to Caesar. I bet no other teacher is brave enough to speak a little loud to him. Caesar might drop them out from the school if he isn’t pleased. But he can’t do it to Narcissa since they’re in the same rank. He’s prince and Narcissa’s princess.

“Well, I’m going to introduce the newbie here,” she says, “Now, Rheiya’s if you please coming front.”

I walk to the front and face my new friends.

“Name’s Rheiya, Rheiya Althea. Coming from a small village of western Valleyursh,” I introduce myself.

“So, the little monkey’s named Rheiya,” the prince says aloud, “what a coincidence.”

I stare fiercely at him.

“Coincidence, indeed,” Narcissa says.

I look at her confusedly and she smiles at me. Then she says, “Nothing important. He just realizes that your name has only one different word with his fiancĂ©’s.”


_________________________________________to be continued :)

that's not the end of Rheina's chapter one.
I'll post the remain of it later.
By the way, Chloe will be posted tonight.
Be sure to check this story land :)
thanks!


.angel

chloe.chapterone.continual :)

hey. my apologize to post this story late. because i was brought to PRJ and do things there till drop. I planned to continue on writing Aldervallea but I arrived home late, so I have no time to type. I've typed Chloe before, so better I post it now.

Here is the next of Chapter one :)
____________________________________________________________________


Chloe terbangun dan dilihatnyaa jam telah menunjukkan pukul 11.30 malam. Dia merasa haus dan keluar kamarnya menuju ke bagian bawah rumahnya. Setelah puas meminum air, Chloe kembali ke rumahnya. Entah kenapa matanya tidak bisa di suruh tidur lagi. Gadis itu membuka jendela kamarnya dan melihat ke bulan yang saat itu sedang penuh.

Di saat dia sedang asyik menikmati pemandangan malam, tiba – tiba serombongan motor melewati depan rumahnnya dengan kecepatan tinggi.

“Really, at the night like this… Masih aja ada yang ngebut. Just making the world worst,” umpat Chloe dengan suara kencang, “Kalau kecelakaan baru tau…”

BRAAAAK!

Terdengan bunyi tabrakan dari depan rumah Chloe, membuat gadis itu segera turun ke bawah dengan senter dan Blackberrynya. Lalu dia pergi keluar rumahnya untuk melihat apa yang terjadi. Dilihatnya ada dua buah motor tabrakan dan telah terjadi baku hantam antara dua orang korban tabrakan itu.

“Apaan sih lo? Nabrak gw bukannya minta maaf. Malah nyolot,” kata seorang laki – laki. Dia menonjok lawannya.

“Lah? Salah lo lah! Pake acara ngerem mendadak,” kata orang yang satunya balas menonjok.

“Abis ada kucing nyberang. Masa gw terobos gitu aja sih? Ga manusiawi amat sih!” sahut orang yang katanya ngerem mendadak, lalu dia menonjok lawannya lagi.

“Ampun! Kucing doang lo peduli…”

“BRISIIIIIIIIIK!!!!”teriak Chloe sambil mengarahkan senter yang di bawanya ke dua orang yang sedang asyik baku hantam itu. Satunya laki – laki berambut panjang, dan yang satunya berambut pendek dan jabrik.

Kedua laki – laki itu segera menghentikan baku hantam mereka dan pandangan mereka tertuju pada Chloe. Lalu mereka melanjutkan baku hantam mereka lagi.

“Cuma anak kecil taunya. Ngapain sih di peduliin…” kata cowok berambut pendek yang nampaknya tadi mengerem mendadak.

Chloe benar – benar kesal karena dirinya dikatakan kecil. Dia juga sebal karena orang yang bertengkar di depan rumahnya itu tidak mendengar mandatnya untuk berhenti berkelahi.

“Please!” omel Chloe, “Kalau kalian nggak berhenti sekarang, I’ll call the police.”

Kedua laki – laki itu tetap melakukan baku hantam mereka. Mereka hanya menganggap Chloe seperti anak kecil yang sedang mengancam mereka. Pada awalnya, Chloe hanya berniat mengancam. Kali saja mereka akan pergi setelah mendengar ancaman Chloe itu. Tetapi, karena tak kunjung pergi akhirnya Chloe menekan – nekan tombol Blackberrynya.

“Halo? Malam, Pak, ada yang berantem di sini, tolong segera ke mari…”

“Cabut!” kata cowok yang gondrong mengajak teman – temannya pergi. Para pengendara sepeda motor tengah malam itu pun mengendarai motornya full speed karena tak ingin bertemu dengan polisi.

Chloe merasa lega. Tetapi tidak sepenuhnya lega karena cowok yang berambut pendek dan jabrik itu masih berdiri di depannya. Dia tersenyum melihat orang – orang bertengkar dengannya sudah pergi. Kalau begini kan dia sudah tidak usah jaim – jaim lagi untuk berbicara dengan Chloe. Gsdis itu hanya memandangnya tidak percaya karena dia menyangka kalau laki – laki itu tidak takut dengan polisi. Atau mungkin… laki – laki itu sudah tahu kalau Chloe hanya berpura – pura menelepon polisi tadi?

“Eh, Non… Ada betadine atau obat merah ga? Sama plester atau perban gitu… Butuh nih buat ngonbatin luka,” kata cowok itu sambil memegangi pipinya yang nyeri.

Chloe memandang laki – laki itu. Dia bingung dengan apa yang dikatakannya. Maklum, Chloe jarang memakai benda – benda itu selama dia masih di Indonesia. Dia jarang – jarang terluka.

“Hmph. I don’t know what you’re saying but if you are asking for medical treatment, there’s no need for people like you,” kata Chloe.

Kemudian gadis itu masuk ke dalam rumahnya dan dia mengunci pagar rumahnya meinggalkan laki – laki yang hanya terkagum – kagum mendengar logat British Chloe sambil menahan rasa sakit di pipinya.

***

Luke membaringkan tubuhnya di kasur. Beberapa kali dia berusaha memejamkan matanya, tetapi selalu gagal. Pipi lebamnya berhasil membuatnya kesakitan dan karena itulah dia tidak bisa tidur. Pip itu memang terasa sakit, tetapi Luke tidak tahu kalau pipinya itu bengkak parah dan sampai sedikit berdarah.

Luke baru pulang ke rumahnya yang bisa dibilang sangat jauh dari lokasi tempat kecelakaannya tadi. Rumahnya berada di Lippo Karawaci, Tangerang. Bisa dibilang tidak ada jalan pintas untuk pulang dari Pondok Indah. Apalagi dengan motor karena tidak bisa memakai jalur bebas hambatan.

“Rio brengsek!” umpatnya saat dia menyadari kenyataan yang ditunjukan kaca mengenai pipinya.

Luke mencari – cari kotak PPPKnya yang sengaja dia sediakan untuk mengantisipasi kejadian – kejadian seperti ini. Hatinya terasa kesal dan menyesal karena menerima tantangan Rio untuk adu kecepatan malam tadi. Sudah jauh – jauh Luke datang dari Lippo, hasilnya malah mengecewakan. Dia malah mendapat luka dan akhirnya Rio kabur karena si anak cewek yang tidak mau menolongnya itu memanggil polisi. Payah. Mengecewakan.

Beberapa menit Luke mencari – cari kotak PPPKnya, tetapi tidak ada yang ditemukannya.

“Bangke!” umpatnya lagi.

Luke sadar pastilah ini kerjaan ayahnya saat dia sedang tidak berada di rumah. Siapa lagi sih yang hobi menyembunyikan kotak PPPKnya selain Dokter Kent, ayahnya? Sejak dulu, ayahnya tidak pernah setuju dengan hobi ngetrack malam – malam Luke itu. Namanya juga anak bandel, walau sang ayah berulang kali melarangnya melakukan hobi yang dianggap merusak itu, Luke tetap cuek saja. Sampai akhirnya Dokter Kent mengambil tindakan dengan menyembunyikan semua kotak PPPK yang dia tahu akan di cari oleh Luke sepulangnya ngetrack. Biar Luke merasakan sendiri akibatnya ngetrack. Lagi pula, persediaan obat – obat luar rumah itu sudah mulai musnah karena Luke.

Luke hanya bisa pasrah. Padahal dia yakin betul kalau dia sudah menyembunyikan kotak itu ditempat yang tidak mungkin diketahui ayahnya. Tetapi, dia sama sekali tidak bisa menemukan di mana kotak itu. Entah benar – benar ayahnya yang mengambil atau dia yang lupa kotak itu di taruh di mana.

Akhirnya, Luke membiarkan pipinya yang bengkak. Berkali – kali dia memejamkan mata sampai akhirnya dia benar – benar tertidur pulas.


______________________________________________to be continued :))

well. that's paused here!
the next is coming soon.
just check it, i promise to post it tomorrow but i don't know if i'll post it day or night.
thanks for reading.
and comment please :)
thanks .


.angel